Cerita Sex Kisah Cinta Dini

Lpkiukiu.com ~ "Dini.. atas nama cinta.. atas segala apa yang pernah kita jalani.. jadilah istriku!" Dini terdiam mendengar permintaan saya, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Kenapa Din?" Dini terdiam, menghentikan tertawanya, menatap saya tegas.

"Cinta tidak harus memiliki.. Tom.." katanya pelan, tapi bagi saya ibarat geledek.

"Lantas? apa arti semua ini?" tanyaku sambil bangkit dari tidurku.

Dini bergerak dari posisi tidurnya, memakai celana dalamnya, dengan santainya ia berdiri, berjalan ke depan cermin dan menyisir rambutnya.

"Sudah jam empat sore Tom, aku harus pulang," katanya sambil mengenakan celana dan bajunya.

"Nggak usah ngantar deh.. Dini pulang sendiri ya.." Saya masih termangu menatapnya.

"Hei.." Dini mencium kening saya.

"Jangan bengong gitu dong.. jelek akh.. tuh.. pakai bajunya..!"

"Aku antar kamu pulang!" kata saya tegas.

Dini menatap saya, bola matanya tajam menatap.

"Kita harus bicara Din, saya nggak bisa terus-terusan begini.." ujarku.

"Oke.. oke, kalau kamu nggak bisa, bukan berarti aku harus kamu paksa Tom," suaranya meninggi.

"Hei, kenapa kamu emosi sih?" tanya saya sambil memegang pipinya.

Dini menepis tangan saya. "aku sayang kamu Tom, aku cinta kamu, tapi aku nggak suka cara kamu memaksaku.."

Dini berlari menghempaskan pintu kamar kost saya.

"Din.. tunggu..!"

Sia-sia teriakan saya, tidak mungkin saya mengejarnya. Apa kata orang satu kost, ketahuan deh berantemnya. Ah wanita, makhluk yang tidak pernah bisa saya mengerti. Begitulah kisah cinta rumit saya dengan Dini. Kisah yang bermula sejak 2 tahun yang lalu.

*2 tahun yang lalu*
Dini menghampiri saya dengan wajah berlipat di kantin kampus saya.

"Hai Tom.." sapanya sambil duduk di samping saya.

"Bagi satunya?" Dini mengambil rokok saya yang terletak di meja, saya mengangguk.

"Dari mana Din?" tanya saya sambil merapikan diktat saya di meja.

"Cari Doni.." jawabnya sambil menarik nafas dan menghembuskan asap rokoknya.

"Kelihatannya BT amat sih? Ada masalah lagi ya?" tanya saya.

Dini mempermainkan rokok di tangannya. "Tau ah.." jawabnya.

Saya jadi malas melanjutkan pertanyaan saya, saya sudah kenal Dini lama sejak masih tingkat satu. Saya hafal sifatnya, kalau ditanya terus bisa pecah perang dunia ketiga deh, bisa-bisa saya yang jadi korban, nanti juga pasti dia cerita sendiri. Lama kami saling membisu, saya pura-pura menyibukkan diri dengan meneruskan catatan kecil saya untuk bahan skripsi.

"Kapan maju sidang Tom?" tanyanya memecah kebisuan.

"Mudah-mudahan sih bulan depan, kamu?"

"Aku tinggal perbaikan dikit terus bisa maju, semestinya minggu ini juga udah kelar, tapi aku lagi BT... Tom kamu masih lama di sini?"

"Nggak juga, bentar lagi mau pulang”

“Oh, aku ke kost kamu ya.."

Saya mengangguk, pasti mau "curhat" lagi deh ini anak. Tak berapa lama kami pun pergi meninggalkan kampus dan menuju ke kost saya.

"Tom.. Doni ninggalin aku.." Saya terkejut.

"Tom.. kamu dengar enggak sih?"

Saya mengecilkan volume tape saya dan menghampirinya.

"Kamu serius?" Dini mengangguk.

"Kenapa Din?" Saya masih dilanda keterkejutan yang dalam.

"Doni menghamili Santi!"

Dini memeluk saya. Saya mengelus rambutnya, sementara pikiran saya menerawang jauh. "Bajingan!!"

Saya mulai akrab dengan Dini sejak awal masa ospek kami di kampus saya. Terus terang, keakraban itu sempat membuat saya menaruh harap padanya. Semakin hari kami semakin akrab saja, dari mulai belajar bersama, jalan bersama, bahkan sering Dini tidur di kamar saya tentu saja kalau dia tidur saya mengungsi ke kamar sebelah. Semua anak-anak menyangka kami pacaran. Dan kalau saya bilang omongan anak-anak ke Dini, Dini hanya tertawa sampai ngakak.

Siapa yang tidak ingin jadi pacarnya? Wajah yang menarik, kulit putih bersih, bodi yang menawan, yah semakin lengkap ia menjadi wanita dengan sikapnya yang sangat manja tapi kadang kala sangat tegas. Perhatiannya pada saya dan kepintarannya membuat saya semakin menaruh harapan saya. Dan harapan saya kandas, ketika suatu saat disaat saya dengan keberanian yang telah saya kumpulkan selama kurang lebih seminggu dan dengan kalimat yang telah tersusun di otak saya, saya menghampiri Dini yang sedang asyik membaca buku di perpustakaan kampus.

"Hai.." Saya mengacak rambutnya, Dini menoleh, tersenyum manis.

"Tumben ke perpus," ujarnya.

"Din, aku mau bicara." Saya duduk di sampingnya.

"Bicaralah!" ujarnya sambil menatap saya.

"Nggak enak ah disini, kita ke kantin yuk!" ajakku.

Dini menarik tangan saya.

"Yuk, aku juga udah boring nih disini." Kami pun pergi ke kantin berdua.

Saya menatapnya sambil menghirup juice jeruk pesanan saya.

"Mau ngomong apa sih Tom..?"

"Eng.. eng.. gini Din.."

Sialan kenapa saya jadi gugup, batinku. Lama saya diam, mempermainkan rokok di jari saya.

"Kok lama banget sih? ada apa sih Tom.. emang serius banget ya Tom?" Dini heran melihat kelakuan saya.

"Eeh.. kamu ada acara nggak hari ini?" tanya saya mencoba menetralisir suasana. Dini mengangguk.

"Acara apa?" tanya saya.

"Doni ngajak aku nonton."

"Doni?"

"Iya, kenapa Tom?"

"Kamu jadian sama dia?" Dini mengangguk.

"Kapan?" suara saya melemah.

"Baru sih Tom, rencananya saya mau ngomong ama kamu.. tapi aku lihat kamu minggu ini sibuk banget, waktu aku samperin kamu-nya malah menghindar."

Oh Dini tahukah kau, saya menghindar karena saya mulai mencintaimu, setiap berdekatan saya semakin tak bisa memendam keinginan saya untuk mencintaimu, tapi saya selalu bingung memulainya.

"Ini kencan pertama kami," Dini melanjutkan kata-katanya.

"Tom.. kamu nggak papa kan?" Dini terkejut melihat wajah saya yang pucat pasi.

"Nggak.. enggak.. selamat deh." Saya berdiri, berjalan meninggalkan Dini yang sepertinya menatap saya heran.

Sejak itu saya mulai menghindar. Dini sering mendatangi saya ke kost dan saya pun selalu berpura-pura menyibukkan diri dengan perkuliahan saya. Saya semakin jauh darinya. Sepertinya Dini tahu juga mengapa saya menghindar. Suatu ketika dia menghampiri saya di kampus.

"Tom.. maafin aku.." ujarnya sambil mengenggam tangan saya.

Saya salah tingkah, dan belum sempat saya berbicara, Dini pergi meninggalkan saya, saya lihat ia menyeka air mata dengan sapu tangannya. Sang waktu yang berlalu, saya mulai dapat menahan hasrat saya pada Dini. Tiga bulan terakhir ini Dini mulai sering mampir di kost saya. Bercerita tentang hubungannya yang mulai retak sama Doni.Tapi saya tidak begitu menanggapinya, takut saya salah melangkah lagi dan menaruh harapan pada kesusahan Dini, tapi hari ini tangis Dini membuat saya tersadar. Betapa menderitanya ia. "Doni.. bajingan kau!" umpatku geram.

Dini masih terus menangis, saya berusaha meredakannya. Saya tahu Dini telah berkorban segalanya untuk Doni. Dini bercerita pada saya semua, semuanya, sampai kegadisannya yang hilang. Dengan amarah yang meluap, entah karena iba melihat Dini atau karena sisa cinta saya, Doni diopname di rumah sakit karena luka-luka di badannya akibat perkelahian dengan saya.

Waktu terus berlalu. Perubahan demi perubahan terjadi. Sore itu, saya mengajak Dini ke kampung saya, menghilangkan stress setelah selesai ujian tengah semester. Perjalanan yang jauh membuat dia sesampainya di rumah saya langsung tertidur, setelah terlebih dahulu mengenalkan Dini kepada orang tua saya. Saya tidur di sofa dan Dini tidur di kamar saya. Tengah malam saya terjaga.Takut terjadi apa-apa dengan Dini, saya membuka pintu kamar saya. Lampunya dimatikan, saya mendengar isak tangis.

"Din.." tidak ada jawaban, saya masuk dan menghidupkan lampu.

Saya lihat Dini tidur menelungkup dan menyembunyikan wajahnya. Saya menghampirinya duduk di sebelahnya.

"Din.. kenapa?" tanya saya pelan sambil mengelus rambutnya.

Tetap tidak ada jawaban, tapi kini isak berganti tangis. Saya membalikkan badannya. Dini menghapus air matanya.

"Tom.. maafin Dini.."

"Maaf? Maaf apa?"

Dini memeluk saya.
"Aku baca catatan kamu tentangku.. di buku kamu. Aku nggak bisa tidur, aku iseng baca-baca.. dan aku.. aku merasa bersalah banget sama kamu.."

Dini memperkuat pelukannya. Saya terdiam, memperhatikan buku saya yang tergeletak di atas meja kamar saya.

"Kamu ambil dari laci ya?" Dini mengangguk.

Di buku itu semua harapan saya kepada Dini tertulis.

"Tom, mau kan maafin Dini?" Saya mengangguk, mencium keningnya.

"Sudah tidur lagi," saya beranjak keluar, Dini menarik tangan saya.

"Bercintalah denganku Tom, miliki diriku, ambillah walaupun hanya sisa.”

Saya meletakkan jari saya di bibirnya supaya Dini tidak melanjutkan ucapannya yang menyiksa dirinya dan diriku. Diciumnya jari saya lembut, dimasukkannya ke mulutnya. Saya belai rambutnya, "Tom.." bisiknya di telinga saya sambil tangannya melingkar di leher saya. Dini tidak meneruskan kalimatnya, diciumnya bibir saya dengan lembut dan semakin lama semakin panas. Dini melepaskan ciumannya. Berdiri di depan saya yang menatapnya dan melepaskan satu persatu pakaiannya.

"Tuntaskan penantianmu malam ini Tom, nikmati tubuhku." Direbahkannya dirinya yang polos di samping saya.

Diambilnya tangan saya diletakkan di payudaranya sambil diremasnya. Saya masih terkesima, antara sadar dan tidak.

"Kamu begitu baik, Tom.." Hanya itu kalimat yang keluar dari mulutnya.

Dini mencium bibir saya, lembut sekali. Dibaringkannya tubuh saya di tempat tidur. Lidahnya bermain di belakang telinga saya, ke dada, dan mengitari seluruh permukaan perut saya. Aah, Dini mulai mengelus kejantanan saya yang masih terbalut celana saya. Dibukanya celana pendek saya, lalu celana dalam saya. Kami telah sama-sama polos.

Saya masih dalam posisi terlentang. Antara bingung dan gejolak yang luar biasa. Dengan senyum manisnya, Dini menjulurkan lidahnya ke arah kejantanan saya. Dimainkannya ujung lidahnya di pangkal kejantanan saya. Ah.. indah sekali. Saya tak mampu berkata apa-apa saat mulutnya mengulum kejantanan saya sambil sesekali diselang-seling dengan mencepitkan buah dadanya.

Saya hampir saja tak kuat menahan "lava" di dalam kejantanan saya. Tapi di saat saya hampir menyemburkannya, tangannya dengan lembut memijat pangkal kelelakian saya itu. Ajaib, "lava" itu tak jadi keluar meski tetap bergejolak. Demikianlah, hal tersebut dilakukannya berulang kali. Hingga dia berkata,

"Tom aku ingin memberimu hadiah yang tak akan kamu lupakan." Dia lalu duduk di atas saya, tepat di atas kejantanan saya.

Diambilnya kejantanan saya, lalu dengan gerakan begitu lembut dimasukkannya ke dalam kewanitaanya.

"Uugh.. aah.." erangannya begitu mempesona.

Saya pun memegang pantat bulatnya, tapi segera dia berkata, "Ssst.. aku akan memberimu kebahagian!"

Terus dengan gerakan memompa dan memutar, saya rasakan seluruh darah mengalir ke bawah. Keringat membasahi seluruh tubuhnya. Sambil berciuman saya rasakan dia memompa kewanitaanya. Lalu dicengkeramnya tubuh saya kuat-kuat.

"Aaggh.. aahhh.." seluruh ototnya meregang.

Putingnya tegak berdiri dan disorokannya ke mulut saya. Lalu dengan keliaran yang tak saya bayangkan sebelumnya, saya lumat habis puting itu sambil membalas pompaannya.

"Ah.. terus.. Tom.. terus.. jangan berhenti!" erangannya semakin membuat saya liar.

"Lagi.. Tom.. lagi.. ini ketiga kalinya.. ayo Tom.." dan tanpa dapat saya tahan sperma saya menyembur.

Dini segera menariknya keluar. Lalu dijilatinya cairan sperma itu. Kenapa dia tidak jijik? Dengan senyum manisnya seakan dapat membaca pikiran saya.

"Nggak Tom aku ingin membuatmu senang.." lalu Dini rebah di pelukan saya.
Previous
Next Post »